Penuntutan dan penegakan hukum terkait pembajakan software sudah
merambah kota-kota di luar pulau Jawa.
Hal itu diungkapkan oleh Donny A.
Sheyoputra (Kepala Perwakilan BSA Indonesia) di Jakarta, kemarin
(29/11). Kalau tahun lalu sebagian besar kasus pembajakan software
masih didominasi pelaku yang berdomisili di Jawa. Tahun ini, ungkap
Donny, aparat hukum di luar Jawa juga mulai disibukkan dengan berbagai
perkara software bajakan. Donny
menyebutkan, antara lain, proses penuntutan terhadap pembajak software
di Jambi dan Bontang. Beberapa kasus bahkan sudah dilimpahkan ke
pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi setempat. Perkembangan lain yang disampaikan BSA
Indonesia adalah penegakan hukum dalam kasus pembajakan software tidak
lagi hanya dilakukan oleh aparat setingkat Kepolisian Daerah. Kasus
pembajakan software Adobe oleh sebuah perusahaan percetakan di Surabaya,
misalnya, dilimpahkan oleh jajaran aparat Polrestabes ke Kejaksaan
Negeri Surabaya. Diakui Donny,
setelah kampanye nasional bertajuk "Berantas Software Bajakan untuk
Indonesia yang Lebih Baik” diluncurkan Oktober lalu, proses penegakan
hukum terhadap pengganda, pengedar, dan pengguna software bajakan
semakin kencang gaungnya. Kabar ini
tentu akan menyenangkan bagi industri software, lokal maupun
multinasional. Pasalnya nilai nominal kerugian akibat merajalelanya
software piracy di Indonesia mencapai US$ 866 juta tahun lalu. Tahun
ini, jelas Donny, bisa menembus angka US$ 1 milyar. Padahal jika tingkat pembajakan bisa ditekan
10 persen saja, selama 4 tahun, sektor perekonomian Indonesia akan
mengalami berbagai kemajuan. Misalnya, peningkatan GDP sampai US$ 2,4
milyar, ketersediaan lebih dari 1884 lapangan pekerjaan berkualifikasi
high tech, dan pemasukan pajak sebesar US$ 124 juta. Prakiraan tersebut
adalah hasil studi IDC yang bertajuk "Dampak Ekonomi dari Pengurangan
Tingkat Pembajakan Software” dan diluncurkan bulan September lalu. Sumber : http://www.infokomputer.com
|